Senin, 23 Desember 2013

Filsafat Islam



POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL GHAZALI DAN IKHWAN AS SHOFA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ihwan Al-Shafa dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Begitupula dengan Ikhwan Al-Shafa yang terlahir ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah.Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali danmunculnya kelompok Ikhwan Al-Shafa serta pemikirannya dalam dunia filsafat islam di bagian islam barat.


B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Biografi dan Karya Al Ghazali?
2.      Bagaimana Pokok-Pokok Pemikiran Al Ghazali?
3.      Bagaimana Sejarah Kemunculan Ikhwan Al Shafa?
4.      Bagaimana Pandangan Ikhwan Al ShafaTentang Filsafat?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi dan karya Al Ghazali
1.      Biografi
Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul-Islam, lahir tahun 140 H. Di Tus, suatu kota kecil di Khurrasan (Iran). Kata-kata “Al-Ghazali” kadang-kadang di ucapkan Al-Ghazzali (dua kali z). Dengan mendua kali-kan kata-kata Al-Ghazali di ambil dari kata-kata “Ghazal”, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah Ghazali adalah memintal benang wool, sedangkan Al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata “Ghazalah”, nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Sebutan terakhir ini banyak dipakai oleh orang.[1]
Sejak kecil, Al – Ghazali telah menggemari ilmu pengetahuan (ma’rifat). Ia cenderung kepada pendalaman masalah yang haqiqi (esensial), meskipun dalam hal ini dia terpaksa harus menempuh kepayahan dan kesulitan. Dia berkata mengenai dirinya sendiri: “Kehausan untuk menggali hakikat segala perkara telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda belia. Tabi’at dan fitrah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam kejadianku bukan karena ikhtiar dan usahak”. (Al - Munqidz).
Pada masa kecilnya, al – Ghazali pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad ar – Radzkani di Khurasan. Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al – Isma’ili di Jurjan. Selain itu dia kembali lagi ke Khurasan.[2]
Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut.
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizamiah lagi.Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[3]
2.      Karya-karya Al Ghozali
Sebagai seorang ilmuwan, Al-Ghazali berhasil menyusun buku-buku Tahafutul Falasifah, Al-Munqizminadl Dlalal, Ihya Ulummuddin, Manthik, Fiqhi dan Usahul Fiqhi, Tafsir, Ahlaq, Adat kesopanan.
Karya-karya Al-Ghazali yang di anggap paling monumental adalah Ihya Ulummuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu religius), sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselerasan antara dimensi eksoterik dan esoterik islam. Karyanya yang lain dalam bidang filsafat dan logika antara lain:
1)      Mi’yar al ilm (standar pengetahuan)
2)      Tahafud al falasifat (kerancuan para filosof)
3)      Mihak al nadzar fi al manthik (batu uji pemikiran logis)
Dalam bidang teologi yaitu Qowaid al aqaid(prinsip-prinsip keimanan) dan  Al iqtishad fi al iqtiqad (muara kepercayaan) dalam bidang ushul fiqh Al mustasfa min ilm al ushul (inti sari ilmu tentang pokok-pokok yurisprudensi) dan Al mankhul min ilm al ushul (ihtisan ilmu tentang prinsip-prinsip) dan dalam bidang tasawuf Al kimia al sa’adah (kimia kebahagiaan), Misykat al anwar  (ceruk cahaya-cahaya).[4]
Bukunya Al-Munqidz Minadh Dlalal (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhirterhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Banyak penulis modern yang mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menulis autobiografi.[5]
B.     Pokok-Pokok Pemikiran Filsafat  Al Ghazali
1.    Metafisika
                        Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
                        Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.[6]
2.      Epistimologi
                        Al-Ghazali memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui dua cara. Pertama, melalui belajar dibawah bimbingan seorang guru, serta dengan menggunakan indera dan akal. Melalui cara ini, manusia mengenal inderawi, menghasilkan ilmu dan pengetahuan, serta mempelajari huruf dan keahlian. Kedua, melalui belajar yang bersifat Rabbani atau belajar Ladunni, dimana terungkap pengetahuan hati secara langsung melalui ilham dan wahyu.
                        Pengetahuan yang bersifat Rabbaniyah atau pengetahuan Ladunniyah adalah tingkatan tertinggi pengetahuan. Pengetahuan ini membutuhkan ibadah, kezuhudan Mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah), dan olah batin (Riyadhah an-Nafs) atas akhlak yang mulia. Sepertinya al-Ghazali mengaitkan antara keluhuran dan kesempurnaan jiwa manusia dengan keluhurannya dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, semakini meningkat dan luhur jiwa manusia melalui kontrakanya dengan Allah SWT, maka semakini berkembang pengetahuannya.
                        Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui alat indera dan akal adalah pengetahuan yang terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak mengaitkan manusia dan alam ghaib. Sedangkan pengetahuan Rabbaniyah adalah satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan manusia dengan Allah SWT. pengetahuan inilah yang dapat membuat manusia memperoleh ketenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan pengetahuan sejati. Dan manusia tidak akan memperoleh pengetahuan Rabbaniyah, kecuali melalui pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, dan pendekatan jiwa dengan sifat-sifat terpuji yang membuatnya siap menerima pengetahuan Rabbaniyah, yaitu pengetahuan sejati.[7]
3.      Aksiologi
                        Menurut Imam Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar , berakhlak yang baik dan berpengetahuan. Manusia sejauh mungkin meniru perangai dan sifat-sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, ikhlas, zuhud, beragama dan sebagainya. Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dan tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji. Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
                        Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan asa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.
                        Alghazali juga sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga materi. Hanya pemakainya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
4.      Sejarah munculnya Ikhwan Al Shafa
Ikhwan Al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak secara rahasia dari sekte syi’ah isma’iliyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 m) di basrah. Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan dirinya khulan al-wafa’, ahl al-adl, dan abna’ al-hamd boleh jadi karena tendensi politik, dan baru terungkap setelah berkuasanya dinasti buaihi di bagdad pada tahun 983 m. Ada kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham takiyah, karena basis kegiatannya berada ditengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga kerahasiaan ini karena mereka mendukung pemikiran mu’tazilah yang telah dihapus oleh khalifah abbasiyah al-mutawakkil, sebagai mazhab negara.
Menurut hana al-fahuri, nama ikhwan as-safa diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kalillah wa dumna  yang diterjemahkan oleh ibn mugaffa’. Nama ikhwan al-Shafa diambil dari sebuah kelompok yang mengolah saint dan filsafat, bukan untuk kepentingan saint dan filsafat, tetapi untuk sebuah bentuk dari pada komunitas etnik spiritual, yang hidup ditengah–tengah masyarakat muslim yang sangat heterogen, perebutan kekuasan diantara jama’ah dalam satu komunitas, dan sekte mereka. Asas berdirinya organisasi ini sesuai dengan namanya ikhwan as-shafa’, persaudaraan yang dibangun atas persaudaraan yang tulus dan ikhlas, kesetiakawanan yang suci murni serta saling menasehati antar sesama anggota organisasi dalam menuju ridho ilahi. Oleh sebab itulah dalam risalah yang mereka kumpulkan para penulis selalu memulai nasehatnya dengan kalimat “ya ayyuhal akh’ (hai saudara!) Atau ya ayyuhal akh al-fadhil (wahai saudara yang budiman) suatu tanda kesetiakawanan antara sesama anggota.
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah upaya menyerupai Tuhan (at-tasyabuh billah) sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia haruslah berijtihad (berupaya sunguh-sungguh) menjauhkan diri mereka: dari berkata bohong dan meyakini kaidah bathil, dari pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta dari berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena Tuhan tidaklah mengatakan kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali kebaikan. Dalam penilaian mereka, syari’at (agama) telah dikotori oleh kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya, dan menurut mereka tidak ada jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat, karena filsafat mengandung hikmat dan kemaslahatan; bila ditata, filsafat yunani dengan agama islam niscaya dihasilkan kesempurnaan. Pusat organisasi juga menurunkan instruksi agar anggota-anggota yang berada didaerah mengadakan pertemuan berkala dalam jadwal tertentu guna mendiskusikan ilmu pengetahuan dan kepentingan anggota. Di dalam risalah mereka juz ke IV halaman 105 tertulis, sepantasnya bagi saudara-saudara kita, yang semoga mereka dikuatkan Allah dimana saja mereka berada, agar mengadakan majelis khusus yang tidak boleh dihadiri oleh selain anggota dalam waktu yang dijadwalkan untuk mendiskusikan ilmu pengetahuan dan membicarakan rahasia-rahasia ikhwan.[8]
5.      Pandangan Ikhwan Al Shafa Tentang Filsafat

Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
1.      Mengetahui Tuhan;
2.      Ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
3.      Ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
4.      Ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
5.      Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.[9]
                  Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.[10]
                  Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
                  Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”. [11]
·         Tuhan dan Emanasi Alam
           Adapun tentang ketuhanan, Ikhwan al-shafa melandasi pikirannya kepada bilangan. Menurut mereka,ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakap tentang tauhid, al-tanzih  mediakan sifat dan tasybih serta serta dapat menolak manusia yang mengingkari keesaan Tuhan.
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan Ash-Shafa merupakan perpaduan antara pendapat Aristoteles, Plotinus dan Mutakalimin. Bagi Ikhwan Ash-Shafa Tuhan adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Tuhan menciptakan Akal pertama dan akal aktif secara emanasi. Dengan demikian, kalau Tuhan qadim  dan baqi maka akal pertamapun demikian halnya. Pada akal pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Jadi, secara tidak langsung Tuhan berhubungan dengan alam materi, sehingga tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya.


BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
                 Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa.Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkanTafsir Al-Qur’an Esotoris.Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai.WallahuA’lam.
B.                 Saran dan Rekomendasi

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidaklah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Begitu juga dengan makalah kami yang jauh dari kesempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif senantiasa diharapkan demi kesempurnaan makalah ini dan yang akan datang. Semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita. Amin.













DAFTAR PUSTAKA
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam. 2004 (Bandung: Nuansa Cendekia)
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. 2002(terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan)
Hanafi  A. Pengantar Filsafat Islam. 1969 . (Jakarta: Bulan Bintang).

Sudarsono. Filsafat Islam. 1997. (Jakarta: PT. Rineka Cipta).

Soleh, A. Khudori . Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar).

http://Kumpulan makalah SU//Html//Senin, 9 September 09.00 Wib

http://IKHWAN AL-SHAFA (Sejarah dan Pemikirannya)   R4m!e's Blog.htm. 13 September. 07.00 wib

http//Muhammad Husna Mubarok  FILSAFAT AL GHAZALI. Senin, 09 September 2013. 09.12 Wib




[1] A. Hanafi. M.A. Pengantar Filsafat Islam. 1969 . (Jakarta: Bulan Bintang). Hlm 197
[2]Http//Kumpulan makalah SU//Html//Senin, 9 September 09.00 Wib.
[3] Http\Muhammad Husna Mubarok  FILSAFAT AL GHAZALI.htm. Senin, 09 September 2013. 09.12 Wib
[4] A. Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar). Hlm. 82
[5] Sudarsono. Filsafat Islam. 1997. (Jakarta: PT. Rineka Cipta). hlm. 64
[9]D:\DATA SEMESTER 5\google\IKHWAN AL-SHAFA (Sejarah dan Pemikirannya)   R4m!e's Blog.htm. jumat. 13 September  2013. Pukul 07.00 WIB.
[10]Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 186

[11]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, hal. 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar