POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL GHAZALI DAN IKHWAN AS SHOFA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika filsafat Islam
dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ihwan
Al-Shafa dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah ini,
penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang
pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau
adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah
al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang
teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Begitupula dengan Ikhwan Al-Shafa yang
terlahir
ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang
diridhai Allah.Dalam Hal ini akan dibahas tentang
filsafat Al-Ghazali danmunculnya kelompok Ikhwan Al-Shafa serta pemikirannya
dalam dunia filsafat islam di bagian islam barat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Biografi dan Karya Al Ghazali?
2. Bagaimana
Pokok-Pokok Pemikiran Al Ghazali?
3. Bagaimana
Sejarah Kemunculan Ikhwan Al Shafa?
4. Bagaimana
Pandangan Ikhwan Al ShafaTentang Filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
dan karya Al Ghazali
1.
Biografi
Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin
Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul-Islam, lahir tahun 140 H. Di Tus, suatu kota
kecil di Khurrasan (Iran). Kata-kata “Al-Ghazali” kadang-kadang di ucapkan
Al-Ghazzali (dua kali z). Dengan mendua kali-kan kata-kata Al-Ghazali di ambil
dari kata-kata “Ghazal”, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah
Ghazali adalah memintal benang wool, sedangkan Al-Ghazali dengan satu z,
diambil dari kata-kata “Ghazalah”, nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Sebutan
terakhir ini banyak dipakai oleh orang.[1]
Sejak kecil, Al – Ghazali telah menggemari ilmu
pengetahuan (ma’rifat). Ia cenderung kepada pendalaman masalah yang haqiqi
(esensial), meskipun dalam hal ini dia terpaksa harus menempuh kepayahan dan
kesulitan. Dia berkata mengenai dirinya sendiri: “Kehausan untuk menggali
hakikat segala perkara telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda belia.
Tabi’at dan fitrah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam kejadianku bukan karena
ikhtiar dan usahak”. (Al - Munqidz).
Pada masa kecilnya, al – Ghazali
pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad ar – Radzkani di Khurasan.
Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al – Isma’ili di Jurjan. Selain itu dia
kembali lagi ke Khurasan.[2]
Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada
Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia
34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut.
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah
itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan
semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk
berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di
Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas
dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk.
Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizamiah lagi.Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14
Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara
laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng
di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[3]
2.
Karya-karya Al Ghozali
Sebagai seorang ilmuwan, Al-Ghazali berhasil menyusun buku-buku Tahafutul
Falasifah, Al-Munqizminadl Dlalal, Ihya Ulummuddin, Manthik, Fiqhi dan Usahul
Fiqhi, Tafsir, Ahlaq, Adat kesopanan.
Karya-karya Al-Ghazali yang di anggap paling monumental adalah Ihya
Ulummuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu religius), sebuah kitab yang ditulis
untuk memulihkan keseimbangan dan keselerasan antara dimensi eksoterik dan esoterik
islam. Karyanya yang lain dalam bidang filsafat dan logika antara lain:
1)
Mi’yar al ilm (standar pengetahuan)
2)
Tahafud al falasifat (kerancuan para filosof)
3)
Mihak al nadzar fi al manthik (batu uji pemikiran
logis)
Dalam bidang teologi yaitu Qowaid al aqaid(prinsip-prinsip
keimanan) dan Al iqtishad fi al iqtiqad (muara
kepercayaan) dalam bidang ushul fiqh Al
mustasfa min ilm al ushul (inti sari ilmu tentang pokok-pokok
yurisprudensi) dan Al mankhul min ilm al
ushul (ihtisan ilmu tentang prinsip-prinsip) dan dalam bidang tasawuf Al kimia al sa’adah (kimia kebahagiaan),
Misykat al anwar (ceruk cahaya-cahaya).[4]
Bukunya Al-Munqidz
Minadh Dlalal (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam
pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhirterhadap beberapa macam ilmu,
serta jalan untuk mencapai Tuhan. Banyak penulis modern yang mengikuti jejak
Al-Ghazali dalam menulis autobiografi.[5]
B. Pokok-Pokok Pemikiran Filsafat Al Ghazali
1. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali
meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan
akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang
filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya
sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa
metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu
pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika
(ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan
akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan
terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.[6]
2. Epistimologi
Al-Ghazali memandang
bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui dua cara. Pertama, melalui belajar
dibawah bimbingan seorang guru, serta dengan menggunakan indera dan akal.
Melalui cara ini, manusia mengenal inderawi, menghasilkan ilmu dan pengetahuan,
serta mempelajari huruf dan keahlian. Kedua, melalui belajar yang bersifat
Rabbani atau belajar Ladunni, dimana terungkap pengetahuan hati secara langsung
melalui ilham dan wahyu.
Pengetahuan yang
bersifat Rabbaniyah atau pengetahuan Ladunniyah adalah tingkatan tertinggi
pengetahuan. Pengetahuan ini membutuhkan ibadah, kezuhudan Mujahadah
(mendekatkan diri kepada Allah), dan olah batin (Riyadhah an-Nafs) atas akhlak
yang mulia. Sepertinya al-Ghazali mengaitkan antara keluhuran dan kesempurnaan
jiwa manusia dengan keluhurannya dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu,
semakini meningkat dan luhur jiwa manusia melalui kontrakanya dengan Allah SWT,
maka semakini berkembang pengetahuannya.
Pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui alat indera dan akal adalah pengetahuan yang
terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak mengaitkan manusia dan alam ghaib.
Sedangkan pengetahuan Rabbaniyah adalah satu-satunya pengetahuan yang
mengaitkan manusia dengan Allah SWT. pengetahuan inilah yang dapat membuat
manusia memperoleh ketenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan pengetahuan sejati.
Dan manusia tidak akan memperoleh pengetahuan Rabbaniyah, kecuali melalui
pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, dan pendekatan jiwa dengan
sifat-sifat terpuji yang membuatnya siap menerima pengetahuan Rabbaniyah, yaitu
pengetahuan sejati.[7]
3. Aksiologi
Menurut Imam Al-Ghazali
orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar , berakhlak yang baik
dan berpengetahuan. Manusia sejauh mungkin meniru perangai dan sifat-sifat
Tuhan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang
disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, ikhlas, zuhud, beragama dan sebagainya.
Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dan
tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia
tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan
rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji.
Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu
merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat
sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan asa akrabnya
terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat bagi sekalian alam.
Alghazali juga sesuai
dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga
materi. Hanya pemakainya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
4.
Sejarah
munculnya Ikhwan Al Shafa
Ikhwan
Al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak secara rahasia dari
sekte syi’ah isma’iliyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 m) di basrah.
Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan dirinya khulan al-wafa’, ahl
al-adl, dan abna’ al-hamd boleh jadi karena tendensi politik, dan baru
terungkap setelah berkuasanya dinasti buaihi di bagdad pada tahun 983 m. Ada
kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham takiyah, karena
basis kegiatannya berada ditengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga
kerahasiaan ini karena mereka mendukung pemikiran mu’tazilah yang telah dihapus
oleh khalifah abbasiyah al-mutawakkil, sebagai mazhab negara.
Menurut hana
al-fahuri, nama ikhwan as-safa diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita
kalillah wa dumna yang diterjemahkan oleh ibn mugaffa’.
Nama ikhwan al-Shafa diambil dari sebuah kelompok yang mengolah saint dan
filsafat, bukan untuk kepentingan saint dan filsafat, tetapi untuk sebuah
bentuk dari pada komunitas etnik spiritual, yang hidup ditengah–tengah
masyarakat muslim yang sangat heterogen, perebutan kekuasan diantara jama’ah
dalam satu komunitas, dan sekte mereka. Asas berdirinya organisasi ini sesuai
dengan namanya ikhwan as-shafa’, persaudaraan yang dibangun atas persaudaraan
yang tulus dan ikhlas, kesetiakawanan yang suci murni serta saling menasehati
antar sesama anggota organisasi dalam menuju ridho ilahi. Oleh sebab itulah
dalam risalah yang mereka kumpulkan para penulis selalu memulai nasehatnya
dengan kalimat “ya ayyuhal akh’ (hai saudara!) Atau ya ayyuhal akh al-fadhil (wahai saudara yang budiman) suatu tanda
kesetiakawanan antara sesama anggota.
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah upaya menyerupai Tuhan (at-tasyabuh
billah) sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia
haruslah berijtihad (berupaya sunguh-sungguh) menjauhkan diri mereka: dari
berkata bohong dan meyakini kaidah bathil, dari pengetahuan yang keliru dan
akhlak yang rendah, serta dari berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak
sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena
Tuhan tidaklah mengatakan kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali
kebaikan. Dalam penilaian mereka, syari’at (agama) telah dikotori oleh
kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya, dan menurut mereka tidak ada
jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat, karena filsafat mengandung
hikmat dan kemaslahatan; bila ditata, filsafat yunani dengan agama islam
niscaya dihasilkan kesempurnaan. Pusat organisasi juga menurunkan instruksi
agar anggota-anggota yang berada didaerah mengadakan pertemuan berkala dalam
jadwal tertentu guna mendiskusikan ilmu pengetahuan dan kepentingan anggota. Di
dalam risalah mereka juz ke IV halaman 105 tertulis, sepantasnya bagi
saudara-saudara kita, yang semoga mereka dikuatkan Allah dimana saja mereka
berada, agar mengadakan majelis khusus yang tidak boleh dihadiri oleh selain
anggota dalam waktu yang dijadwalkan untuk mendiskusikan ilmu pengetahuan dan
membicarakan rahasia-rahasia ikhwan.[8]
5.
Pandangan
Ikhwan Al Shafa Tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu
bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat
wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan
berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada
empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan
mempunyai bagian-bagian, yaitu:
1.
Mengetahui Tuhan;
2.
Ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat
Tuhan;
3.
Ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh
dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
4.
Ilmu politik yang meliputi politik
kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus
(politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
5.
Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui
hakikat kehidupan di hari kemudian.[9]
Filsafat, kebijaksanaan atau
kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike)
sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu
pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh
sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan
keyakinan itu.[10]
Dalam memandang antara
filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius
antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai
dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai
lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu
bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran
yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai
utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin)
dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna
eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate.
Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr),
kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap
tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan
imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu
justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka
adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah
”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”. [11]
·
Tuhan dan Emanasi Alam
Adapun
tentang ketuhanan, Ikhwan al-shafa melandasi pikirannya kepada bilangan.
Menurut mereka,ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakap tentang tauhid,
al-tanzih mediakan sifat dan tasybih serta serta dapat menolak manusia
yang mengingkari keesaan Tuhan.
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan
Ash-Shafa merupakan perpaduan antara pendapat Aristoteles, Plotinus dan
Mutakalimin. Bagi Ikhwan Ash-Shafa Tuhan adalah pencipta dan mutlak Esa. Dengan
kemauan sendiri Tuhan menciptakan Akal pertama dan akal aktif secara emanasi.
Dengan demikian, kalau Tuhan qadim dan baqi maka akal
pertamapun demikian halnya. Pada akal pertama ini lengkap segala potensi yang
akan muncul pada wujud berikutnya. Jadi, secara tidak langsung Tuhan
berhubungan dengan alam materi, sehingga tauhid dapat dipelihara dengan
sebaik-baiknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi,
Rasail Ikhwan
al-Shafa.Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif,
Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkanTafsir Al-Qur’an Esotoris.Inilah
yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai.WallahuA’lam.
B.
Saran
dan Rekomendasi
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa sebagai manusia biasa
tidaklah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Begitu juga dengan makalah kami
yang jauh dari kesempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif
senantiasa diharapkan demi kesempurnaan makalah ini dan yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran
Filsafat Islam. 2004 (Bandung: Nuansa Cendekia)
Fakhry, Majid, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. 2002(terj.) oleh Zaimul Am,
(Bandung: Mizan)
Hanafi A. Pengantar
Filsafat Islam. 1969 . (Jakarta: Bulan Bintang).
Sudarsono. Filsafat
Islam. 1997. (Jakarta: PT. Rineka Cipta).
Soleh,
A. Khudori . Wacana Baru Filsafat Islam.
2004. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar).
http://Kumpulan makalah SU//Html//Senin,
9 September 09.00 Wib
http://dlapan-forum.blogspot.com/2011/05/makalah-ikhwan-al-shafa.html.Selasa,
10 September 2013
http://IKHWAN AL-SHAFA (Sejarah dan
Pemikirannya) R4m!e's Blog.htm. 13
September. 07.00 wib
http//Muhammad Husna Mubarok FILSAFAT AL GHAZALI. Senin, 09 September
2013. 09.12 Wib
http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html.
senin, 16 september 2013. Pukul 20.00 WIB
http://imamalghazali.com/pemikiran-filsafat-imam-al-ghazali.htm.
ahad. 15 september 2013. Pukul 12.00 WIB
[1] A.
Hanafi. M.A. Pengantar Filsafat Islam. 1969 . (Jakarta: Bulan Bintang). Hlm 197
[2]Http//Kumpulan
makalah SU//Html//Senin, 9 September 09.00 Wib.
[3] Http\Muhammad
Husna Mubarok FILSAFAT AL GHAZALI.htm.
Senin, 09 September 2013. 09.12 Wib
[4] A.
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. (Yogjakarta: Pustaka Pelajar).
Hlm. 82
[5]
Sudarsono. Filsafat Islam. 1997. (Jakarta: PT. Rineka Cipta). hlm. 64
[6]http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html.
senin, 16 september 2013. Pukul 20.00 WIB.
[8]http://dlapan-forum.blogspot.com/2011/05/makalah-ikhwan-al-shafa.html.
selasa, 10 September 2013. Pukul 20.00 WIB.
[9]D:\DATA
SEMESTER 5\google\IKHWAN AL-SHAFA (Sejarah dan Pemikirannya) R4m!e's Blog.htm. jumat. 13 September 2013. Pukul 07.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar