A.
PENDAHULUAN.
Banyak pemikir kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa
cacat epistemologis apapun, karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan
ulama’ masa dahulu memang sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat
yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan
melaksanakannya. Disinilah cendekiawan muslim modern melonterkan kritikan,
mereka mengnggap sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik intelektualitas
manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah.
Mestinya metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud)
dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi
kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan klasik
tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH.
1.
Tokoh-Tokoh Ushul Fiqh dan
Pemikirannya
2.
Kasus-kasus fiqh kontemporer
C.
PEMBAHASAN.
1)
Tokoh-Tokoh Ushul Fiqh dan
Pemikirannya
a.
Fazlur Rahman
Titik
tolak pemikiran Fazlur Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam memahami
teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan
empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya
dalam buku Islamic Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman
ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam
di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi;
yaitu perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat
ijtihadnya
Dalam
kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara
sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman,
sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen
qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’
atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang
membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup
kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.
Dengan
demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis,
kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan
hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses
ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang
tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci
rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses
pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke
empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Dari
hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya
pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad
fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman mengkritik
doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil
mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan
perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan
Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka
dan tidak pernah tertutup.
Sementara
itu untuk mengantisipasi pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan
dan tidak bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya,
yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir
Fazlur Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for
understanding the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting
The Qur’an” memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini
selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga
yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh
bangunan syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
“Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi
sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran
Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.”
Akan
tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi
Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
“..bukan hanya kembali
kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi
suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita
dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang
kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui
pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b.
Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung
satu model, yaitu kembali ke teks (return to texts). Apa yang dimaksud dengan
kembali ke teks menurut Syahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan
perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Dalam pembacaannya,
Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang dapat kita lihat pada Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika Islam bersifat relevan pada setiap
ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita
yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah
menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab
dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga al-Kitab dapat merefleksikan
problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai zamannya.
Disini, Syahrur
lebih bermain pada linguistik dengan bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode
linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir
al-Jurjani. Hingga menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang
menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan
istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab ialah sekumpulan tema yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan
Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang sering dinamakan as-sab’ al-masani.
Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep
Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah
(kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan
khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku.
Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang
kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.
Metode ijtihadnya
antara lain, Syahrur hanyalah merupakan pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam
mendekonstruksi hukum-hukum Islam, mengesampingkan keterangan muhkamat dan
tsawabit menjadi mutasyabihat dan mutaghayyirat.
Syahrur telah
keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih
dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang
mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan
hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad diyakini sebagai sumber
hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya oleh akal yang
mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma’ pun
didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya
mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena
menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas
adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran
dengan realitas objektif.
Buah dari
pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah
al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas ini terdiri dari batas bawah
(al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Syahrur
mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini pada Alqur’an surat
an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi enam
bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu
Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi
batas minimal), Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal
bersamaan dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa
alternatif), Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd
abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah
al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal
positif dan batas minimal negatif).
Wilayah ijitihad
manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi.
Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi
pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis
lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam
wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi),
maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan
aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang
membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal
haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang
botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai
rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia
mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan
menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu,
bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan
bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika
terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu
menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan
tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59.
c.
Hasan al-Turabi
Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna
qiyās dan istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali,
mencakup makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli
fikih dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan
hukum (‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum.
Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan
menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau
kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan
untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi
yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum
yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan
kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa
sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal
dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās
mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat
di mana seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku
telah menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan…”. Menurut al-Turabi,
kasus seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin
kasus serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita
tidak mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di
antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain
semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan
mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk
pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya
al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan
ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum
utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi
derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum
agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan
umum darinya.
d.
Abdullahi Ahmed an Na’im
Setiap
tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri dalam merumuskan pemikiran
yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing, Model paradigma barunya
An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak cukup hanya dengan
reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan rekonstruksi,
reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan dekonstruksi. Karena Islam lahir
dalam setting masyarakat yang sama sekali berbeda dengan masyarakat
kontemporer yang tengah berlangsung dalam kehidupan modern saat ini.
Pemikiran
dekonstruksi Abdullahi Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi
atas wacana pembaharuan hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im
seperti bisa dibaca pada karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah
terletak pada kebekuannya (yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW), melainkan justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju
sesuai dengan tuntutan kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim
membangun metodologi dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus
didekrontuksi secara total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap
islam. Pemikiran rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis
terhadap metodelogi yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.
Hassan Hanafi
Hasan Hanafi menengarai perlunya sikap kritis
terhadap tradisi kita dan tradisi mereka. Proyeknya yang terkenal adalah al-turats
wa al-tajdid yang berupaya meletakkan landasan teoritis pada kerangka
lingkaran piramida peradaban. Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia
tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi),
yang dipersonifikasikan dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal)
yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali),
yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f. Nashr Hamid Abū Zayd
Sementara Nashr Hamid dengan konsep makna dan
signifikansi (maghzā) mencoba melakukan pembacaan ulang konsep ‘illah dalam
ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd, perbedaan antara makna dan signifikansi
dapat dilihat dari dua dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri historis, maksudnya bahwa ia dapat
diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistik
(internal) dan konteks kultural-sosiologis (eksternal). Sementara signifikansi
(maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan dari makna, bahkan saling bersentuhan
dan berangkat dari makna, memiliki corak kontemporer dalam pengertian ia
merupakan hasil dari pembacaan masa di luar atau berbeda dengan masa
(terbentuknya) teks.
Dimensi kedua dan ini dianggap sebagai
konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa makna memiliki aksentuasi yang
relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi memiliki corak yang bergerak
(dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison pembacaan, meskipun
hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan geraknya, karena memang
demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan). Apabila dicermati, model
pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi) bersentuhan dengan makna
dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak tidak berbeda secara
mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada temuan ‘illah, dan
menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi pengembangan pengertian ke
peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan teks.
Namun
demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya
sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang
merupakan tempat bergantungnya hukum menurut ulama ahli fikih bisa jadi
merupakan bagian dari pengertian dan makna, maksudnya ditegaskan secara
eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai hanya dengan sekedar ijtihad
ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi bersifat partikular (parsial),
maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari hukum-hukum syariat, dan tidak
melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya, apalagi merambah pada teks-teks non-hukum.
Ahli fiqh kuna tidaklah menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya
hanya pembicaraan mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang
sudah dibatasi pada upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata
“memelihara” di sini tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari
sikap fikih lama.
Dengan demikian, signifikansi, bagi Abū-Zayd, bukan
merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah) sebagaimana yang didefinisikan
oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan mendasar. Pertama,
signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks
dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam kebudayaan dan realitas.
Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak harus dibatasi, sebab beberapa
tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum, dan karenanya memapankan gerak
realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam struktur bahasanya kembali ke
masa lalu dengan mengulanginya dan mengembalikan kebudayaan dan realitas ke
belakang. Kedua, signifikansi ditentukan secara lebih ketat oleh
tujuan-tujuan real wahyu.
Bertolak dari pembedaan makna dan signifikansi
tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan prosedur pembacaan teks yang harus
ditaati seorang penganalisis. Menurutnya, sekalipun pembacaan berangkat dari
signifikansi kontemporer, namun ia harus tetap berpangkal pada makna historis
teks terlebih dahulu. Sebab, makna historis teks selain dapat memberikan
“objektivitas” pemahaman, ia juga yang menentukan batas-batas yang mengarahkan
pergeseran teks. Sementara itu, signifikansi juga memiliki peran di dalam
menentukan segi-segi tertentu dari teks yang hendak diungkapkan. Ini karena,
sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria kontemporer” bagi upaya
penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam pengertian ini, makna
bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut ditentukan oleh horison harapan
pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan merupakan gerak dialektika antara
makna dan signifikansi, antara masa lampau dan masa kini, dan antara teks dan
pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan menjerumuskan pembacaan
kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2)
Kasus-kasus fiqh kontemporer
·
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang
belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika perbankan
(khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga, pertanyaan
muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari perdebatan itu.
Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan sebagai alat komoditi?
Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak dalam usaha dagang.
Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam usahanya, dan barang dagang
bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan persoalan bunga bank itu riba
atau bukan, maka alat yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah
melalui penalaran bayani yang lebih menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan
penalaran ta’lili, yang lebih berusaha mencari ‘illat hukum diharamkannya riba.
Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan riba adalah semata-mata “penambahan atas
modal”, tanpa melihat kausa prima diharamkannya riba.
·
Dalam masalah poligami
Ayat
Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan
poligami, Artinya:” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129
menyatakan bahwa keadilan yang dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam
praktik, Allah berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”
Maka selanjutnya dikatakan
bahwa sesungguhnya maksud Al- Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh
teks itu disebut oleh para intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan
poligami justru membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil
konsep nasakh yang ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
·
kasus pelarangan atas rokok menurut syahrur.
Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh dengan
didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya hukum yang
melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau bukti ilmiah
yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat zat-zat yang
berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru. Temuan ilmiah
kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal dalam konsep
qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid al-tsānī .
D.
SIMPULAN.
Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan
metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks,
tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian
hukum semata.
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi.
E.
PENUTUP.
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, apabila
ada kesalahan dalam penulisan penulis meminta maaf. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangatlah penulis butuhkan, untuk perbaikan penulisan makalah
selanjutnya. Semoga makalah yang penulis buat dapat bermanfaat bagi kita semua,
amien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar