.PENDAHULUAN
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang
memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang
kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti
yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari
baginda rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada
aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam intrpretasi. Mengenai teks
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya
yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal
ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.
Setiap rasul dan nabi selalu dibekali dengan mu’jizat yang akan menjadi
bukti kebenaran kenabiannya atau kerasulannya, seperti Nabi Isa yang bisa
mengobati segala penyakit dan menghidupkan orang yang mati, atau seperti Nabi
Sulaiman yang bisa berkomunikasi dengan segala binatang. Unsur luar biasa yang
terkandung dalam mu’jizat ini dimaksudkan sebagai dorongan bagi manusia untuk
berpikir.[1]
II.RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
pengertian dan karakteristik wahyu serta
fungsi wahyu?
2. Bagaimana
definisi mukjizat dan sisi kemukjizatan Al-Qur’an?
III.PEMBAHASAN
1. Bagaimana
pengertian dan karakteristik wahyu serta
fungsi wahyu?
A. Pengertian Wahyu secara
bahasa kata “wahyu” berarti isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan segala
sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.[2]
Dalam Alquran, kata
wahy (الوحي) , digunakan dalam bentuk الإيحاء dan dipakai dalam
berbagai macam pengertian. Di antaranya:
a. Ilham Fithriah bagi manusia:
“ Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya
…[Q.S. Al-Qashash/28: 7].
b.
Instink bagi hewan :
” Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada
lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di
tempat-tempat yang dibuat oleh manusia [Q.S.
Al-Nahl/16: 68].
c .
Isyarat :
” Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi
isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang
[Maryam/19: 11].
d.
Bisikan/rayuan syeithan :
” Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan [Q. S. Al-An’am/6:
112]
Demikian arti kata wahyu menurut penggunaannya dalam Alquran.
Sedangkan kata wahy menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh
Muhammad Abduh, ialah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya
serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan
perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.[3] Jika
definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang
digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan
sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi atau rasul-Nya tentang
hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar
tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan.
Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.
Pengertian demikian ini juga digunakan dalam Alquran, antara lain pada arti
ayat: Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana
Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny,
dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak,
Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami
berikan Zabur kepada Daud [Q. S. Al-Nisa’/4: 163]
Sedangkan proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan
kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam arti Alquran surat al-Syura/42:
51 sebagai berikut:
” Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung)
atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana
[Q.S. Al-Syura/42: 51].
B. Karakteristik Wahyu
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi
nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat
penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia,
tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum
atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap
dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal,
bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik
perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
C. Macam-macam wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala
sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul, adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari keinginan
pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari Allah. Seperti dalam
firman-Nya:
“Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa
nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan
[Al-Najm/53: 3 – 4].
Sungguhpun redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup apa saja (ajaran) yang disampaikan atau diucapkan oleh
Muhammad, namun dalam realitasnya harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat
ilahiyah, yang menempatkan Muhammad sebagai utusan Allah.
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan
dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi.
Perbandingan antara ketiga macam wahyu ini dapat ditabulasikan sebagai berikut:
ALQURAN
|
HADITS
QUDSI
|
HADITS
NABAWI
|
Redaksi bahasa dan
mak-nanya dari Allah
|
Maknanya dari Allah,
redaksi bahasanya disusun sendiri oleh Nabi dengan menis-batkannya kepada
Allah.
|
Maknanya dari
Allah, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh Nabi tanpa menisbatkan-nya
kepada Allah
|
Keabsahan-nya sebagai
wahyu
Allah bersifat mutlaq (قطعيّ الورود)
|
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang
bersifat
mutlaq (قطعيّ
الورود) dan ada yang relatif (ظنيّ الورود)
|
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang bersifat
mutlaq (قطعيّ
الورود) dan ada yang tidak mutlaq (ظنيّ الورود)
|
D.
Fungsi wahyu
Wahyu
berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal
manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi
tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik
dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di
situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada
pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan
kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah
wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu
diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada
tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta
menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang
lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi
tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan
tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya
wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal
tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari
pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal
tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari
hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui
dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian
di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai
fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui
akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian
menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi kaum
Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai
kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan
mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian
sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya
kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada. Al-Ghozali berkata manusia tidak
akan ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih
kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan
buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari
perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya
bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan
larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa
dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang
menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa
saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam
kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum
Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman
para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan
hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan oleh Imam Al-Ghozali di
dalam al-syahrastani.
Adapun
aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang sependapat
tentang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting,
bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik
dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui
kwajiban-kewajiban manusia. Oleh Karena itu di dalam system teologi yang
memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia
dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. tetapi di dalam system teologi
lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu.
Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya
manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan
dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam
aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam
pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam
pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia
dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi
dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak
tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
2. Bagaimana
definisi mukjizat dan sisi kemukjizatan Al-Qur’an?
A. Definisi
Mu’jizat.
Mu’jizat secara
etimologi berarti melemahkan, sedangkan menurut terminologi ialah sesuatu yang
diperlihatkan allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas
kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan. Umumnya mu’jizat para nabi dan
rasul itu bermasalah yang di anggap mempunyai nilai tinggi dan di akui sebagai
suatu keunggulan oleh masing-masing umat pada masa itu. Misalnya zaman nabi
Muhammad SAW adalah zaman keemasan kesasteraan Arab, maka mu’jizat utamanya
adalah Al-Qur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung nilai sastra yang
amat tinggi sehingga tidak ada seorang pun
dapat membuat serupa Al-Qur’an seperti yang berulang-ulang ditantang
oleh Al-Qu’an. Jika kita berkata mu’jiazat Al-Qur’an maka ini berarti bahwa
mu’jizat (bukti kebenaran) tersebut adalah mu’jizat yang dimiliki atau terdapat
didalam Al-Qur’an.[4]
Al-Qur’an sendiri biasa didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril sesuai redaksinya kepada Nabi Muhammad Saw dan
diterima oleh umat islam secara Tawatur.[5]
B. Syarat-syarat Mu’jizat
a. Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sanggup
dilakukan siapapun selain Allah, Tuhan semesta alam.
b. Tidak sesuai dengan kebiasaan dan
berlawanan dengan alam.
c. Mu’jizat harus berupa hal yang dijadikan
saksi oleh seseorang yang mengaku membawa risalahillahi sebagai bukti atas
kebenaran pengakuannya.
d. Terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi
yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat tersebut.
e. Tidak ada seorang pun yang dapat
membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
C. Segi-segi Kemu’jizatan Al-Qur’an
a. Susunan yang indah, berbeda dengan setiap
susunan yang ada dalam bahasa orang-orang Arab
b. Adanya uslub yang aneh, berbeda dengan
semua uslub-uslub bahasa Arab.
c. Sifat agung, yang tidak mungkin lagi
seorang makhluk untuk mendatangkan hal yang seperti itu.
d. Bentuk undang-undang yang detail lagi
sempurna yang melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
e. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bias
diketahui kecuali dengan wahyu.
f. Tidak bertentangan dengan
pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.
g. Menepati janji dan ancaman yang dikabarkan
Al-Qur’an.
h. Adanya ilmu-ilmu pengetahuan yang
terkandung didalamnya (ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum).
i.
Memenuhi kebutuhan manusia.
j.
Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuh.
Termasuk kesulitan seseorang ialah
menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi
yang digambarkan. Sementara Al-Qur’an tidak berbicara dengan sebuah kata
kecuali sejalan dengan makna yang dikehendaki dan pada tingkat kedalaman paling
tinggi. Ketika merenungkan sebuah ayat yang akan menjelaskan cara menciptakan
alam, misalnya dengan dasar sistem yang teratur dan peraturan yang tidak
bertentangan satu sama lain dan tidak rusak, maka ayat tersebut menjelaskan
makna tersebut dengan fenomena gerak yang dapat dirasakan.
Al-Qur’an al-Karim dalam uslubnya yang
menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya:
a. Kelembutan Al-Qur’an secara lafdziah yang
terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasanya.
b. Keserasian Al-Qur’an baik untuk awam maupun
cendekiawan.
c. Sesuai dengan akal dan perasaan, dimana
Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan hati.
d. Keindahan sajian Al-Qur’an serta susunan
bahasanya, seolah-olah merupakan suatu bingkai yang dapat memukau akal dan
memusatkan tanggapan serta perhatian.
e. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau
kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
f. Al-Qur’an mencakup dan memenuhi persyaratan
antara bentuk global (ijmali) dan bentuk terperinci (tafshil).
g. Al-Qur’an merupakan suatu mu’jizat yang
terbesar dan kekal.[6]
D. Macam-Macam Mu’jizat
Mu’jizat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mu’jizat hissi, ialah mu’jizat yang dapat
dilihat, didengar, dicium, dirasa, dan diraba oleh panca indera. Ia sengaja
ditunjukkan kepada manusia yang tidak mampu menggunakan akal pikiran dan
kecerdasannya untuk menangkap keluar biasaan Allah.
2. Mu’jizat maknawi ialah mu’jizat yang tidak
dapat dicapai dengan kekuasaan panca indera semata, tetapi harus dicapai dengan
kekuasaan dan kecerdasan akal pikiran.[7]
E. Tujuan dan Fungsi Mu’jizat Al-Qur’an
1. Tujuan
a. Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad
SAW.
b. Untuk membuktikan bahwa kitab suci
Al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah.
c. Untuk menunjukkan balagah bahasa manusia.
d. Untuk menunjukkan kelemahan daya upaya dan
rekayasa manusia.
2. Fungsi
a. Mu’jizat bagi rasulullah
b. Pedoman bagi setiap muslim
c. Korektor dan penyempurna dari kitab-kitab
Allah yang sebelumnya.[8]
IV. KESIMPULAN
Wahyu
dan mukjizat merupakan hal yang luar biasa
dalam agama islam, karena dari kedua aspek inilah kita dapat mellihat kebesaran
Alloh SWT. Wahyu memiliki pengertian pesan dari Alloh kepada hambanya yang
dipilihNya, sedangkan Mukjizat adalah suatu hal yang luar biasa yang diberikan
kepada ciptaan pilihanNya.
[4] Prof. Dr. H. Said Agil Husin Almunawar M.A. al-Qur’an, Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Ciputat Pres. 2005 hlm. 30-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar