BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Masyarakat islam
dunia dikagetkan dengan adanya seorang wanita bernama Amina Wadud,
profesor tamu di jurusan studi islam, Virginia Commonwealth
University AS telah mengimani sholat jum’at dan berkhotbah di New
York sekitar tahun 2005 yang lalu. Sholat jum’at ini berlangsung di
gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS yang shafnya pun campur
dengan laki-laki dan perempuan.
Tak hanya itu, pada
tahun 2008, Amina Wadud mengulang aksinya di London. Ia kembali
menjadi imam dan khotib di Oxford Centre, Oxford. Wadud menjadi imam
sholat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford dengan makmum laki-laki
dan perempuan campur.1
Isu feminisme
memang sedang hangat dibicarakan dan digembor-gemborkan oleh
pengiatnya. Jika maksud dari feminisme adalah memerdekakan kaum
perempuan dari segala bentuk kezaliman, tentu itu tindakan yang baik.
Dan itulah misi islam sejak muncul berpuluh abad yang lalu. Tapi,
nyatannya feminisme telah diarahkan untuk menghancurkan sendi-sendi
islam dan menggugatnya karena beranggapan bahwa tidak ada
ketidakadilan dalam islam kepada perempuan.
Menariknya tak
sedikit para pengiat feminisme mencari legitimasi hadits-hadits Nabi
atau pendapat para Ulama klasik untuk membenarkan apa yang mereka
perjuangkan. Dalam makalah ini kita akan coba membahas, boleh
tidaknya seorang perempuan menjadi imam sholat laki-laki, serta
bagaimana relasi laki-laki dan perempuan dalam bidang ibadah, lalu
bagaimana dengan kesetaraan dan keadilan gender dalam hal ini.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana relasi laki-laki dan perempuan dalam bidang ibadah?
- Bagaimana kepemimpinan perempuan dalam sholat?
- Bagaimana kesetaraan gender dalam kepemimpinan perempuan sebagai imam sholat?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Ibadah.
Secara
umum, Islam memandang laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama,
tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani
dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan
titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh
syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum
Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman
siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari
mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai
hamba-hamba-Nya.
Namun demikian,
bukan berarti kaum laki-laki dan perempuan menjadi sama dan setara
dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan,
status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan
melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar,
hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara
biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda.
Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan
potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi perempuan
dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan,
menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil
jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan
tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Syaikh Bakr bin
Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini,
sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Maha Adil
dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan
peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan
masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya
saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat
berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.”
Dari sisi ini
pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk
“Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna
al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah”
menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan antara
laki-laki dan perempuan adalah hubungan saling melengkapi, bukan
hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler.
Allah berfirman
menghiyakatkan perkataan istri Imran,
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran
[3]: 36)
Dari sini,
kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara
laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan
Islam Islam memandang keadilan antara laki-laki dan perempuan, bukan
kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip
keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya,
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.2
Hukum Syariat
antara Laki-laki dan Wanita
Di antara
ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal
kepemimpinan. Allah berfirman,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa` [4]: 34)
Posisi strategis
ini Allah berikan kepada laki-laki karena ia sesuai dengan tabiat dan
kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam rumah
tangga, laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab menjaga dan
memelihara urusan orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya
dari para istri dan anak-anak, termasuk menjamin pakaian, makanan dan
rumah mereka.
Bahkan, tidak
hanya urusan-urusan dunia mereka, namun juga dalam urusan agama
mereka. Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah
pemimpin/penanggungjawab bagi perempuan, dalam hal agamanya, sebelum
dalam hal pakaian dan makanannya.” (Khuthbah Jum’at, Masjid Amir
Mut’ib)
Dengan catatan,
kepemimpinan atau kekuasaan seorang laki-laki atas perempuan itu
bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam arti
kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan.
Begitu pula dalam
kepemimpinan pada ranah-ranah publik seperti jabatan kepala negara,
kehakiman, menejerial, atau perwalian seperti wali nikah dan yang
lainnya, semua itu juga hanya diberikan kepada laki-laki dan tidak
kepada perempuan.
Dalam ibadah dan
ketaatan, laki-laki secara khusus dibebani kewajiban jihad, shalat
jum’at dan berjamah di masjid, disyariatkan bagi mereka adzan dan
iqamah. Syariat juga menetapkan perceraian berada di tangan
laki-laki, dan bagian waris dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
- Kepemimpinan Perempuan dalam Sholat.
Kepemimpinan dalam
islam sering disebut dengan imamah.
Dalam
kajian para ulama imamah
dibagi dalam dua kategori, yaitu imamah
kubro dan
imamah sugra. Imamah dalam
arti ini pertama merupakan kepemimpinan secara umum, kepemimpinan
seseorang dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam hal ini masuk
istilah khilafah
.
sedangkan pengertian imamah
yang
kedua , imamah
khusus
yang berkenaan dengan kepemimpinan dalam sholat. 3
Ketika kita
membicarakan soal kepemimpinan dalam sholat maka kita menjumpai bahwa
seluruh kitab fiqih, baik klasik maupun modern, selalu menyebutkan
sejumlah syarat. Beberapa persyaratan itu, diantaranya, yaitu: Islam,
Berakal, Baligh, Laki-laki. Para ulama fiqih dan mazhab Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hanbali sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan
memimpin sholat lak-laki, ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya
sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, sama
sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam sholat, termasuk bagi
jamah kaumnya sendiri, baik untuk sholat fardhu (wajib) maupun sholat
sunnah. 4
Ulama Hanafiyah
berpendapat,”Perempuan tidak boleh mengimani kaum laki-laki sama
sekali dan sholatnya dianggap tidak sah dan tidak boleh diikuti,
namun ia boleh menjadi imam bagi Perempuan lain karena kedudukan
mereka sama. Akan tetapi, sholat wanita secara sendiri lebih utama
karena jamaah mereka dihapuskan.
Perempuan boleh
beriman kepada laki-laki jika si laki-laki berniat menjadi imam si
perempuan. Diriwayatkan oleh Al Hasan dari Abu Hanifah, jika
perempuan berdiri di belakang imam, maka ia boleh menjadi makmum
walaupun si imam tidak memasang niat sebagai imam. Akan tetapi jika
ia berdiri di samping imam, sholatnya menjadi batal dan sholat si
imam menjadi sah. Dan jika si laki-laki berniat menjadi makmum bagi
si perempuan maka sholatnya batal. Ini pendapat Abu Hanifah yang
pertama, alasannya, jika ia sudah berdiri di belakang imam, maksudnya
ia ingin mengerjakan sholat dan tidak untuk merusak sholat sang imam
sehingga tidak harus ada imam dan makmum sejak awal. Namun, jika ia
berdiri di samping imam, berarti ia berniat merusakkan sholat imam
sehingga harus ditolak dengan membatalkan sholatnya, kecuali jika si
imam juga batal sebagai akibat dari hal mudarat ini.
Perempuan boleh
menjadi imam bagi perempuan lain, dan ia hendaknya berdiri di
tengah-tengah mereka sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia
pernah menjadi imam kaum perempuan untuk sholat ashar dan ia berdiri
di tengah-tengah. Ummu Salamah juga pernah menjadi imam kaum
perempuan dan berdiri di tengah-tengah, karena seharusnya mereka
menutup diri, dan cara ini sangat tepat meskipun sholat jamaah mereka
makruh menurut kami”.5
- kesetaraan gender dalam kepemimpinan perempuan sebagai imam sholat
Kesetaraan yang
diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya,
kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut
dalam RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang
terjadi adalah ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial.
Mungkinkah olah raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin?
Laki-laki dan wanita bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga
tinju dan pencak silat tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis
dan bulu tangkis saja dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet
pun dipisah. Kenapa dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan
badan dan biologis memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal keadilan
itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat
dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat,
dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu
tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Di sisi Allah pria
dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi
penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat ampunan dan
pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah dan
senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada pembedaan sama
sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada
perempuan bersedekah. Amal sholeh dan keimanan dalam Islam
tidak ditentukan jenis kelamin (QS Ali-Imran: 195).
Laki-laki menjadi
imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu
pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar
pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah
wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah.
Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita
itu, semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik
perhatian pria.
Efek negatif yang
bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah ideologi
relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur
hubungan antarmanusia. Akibatnya, mereka menghalalkan praktik
homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan
orientasi seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh
syariah sekalipun. Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis
seorang perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi
dalam hubungan seksual.
Adapun isu
kesetaraan gender selama ini lahir karena pemberontakan wanita Barat
terhadap doktrin gereja. Isu kesetaraan gender membuat perempuat
Barat mengingkari kodrat mereka seperti perempuan. Dimana hal itu
tidak pernah dialami dalam tradisi Islam. Sehingga sepatutnya
pengalaman itu tidak dipraktikkan dalam hukum Islam. Apalagi
paham feminism merupakan bagian dari liberalisasi dan sekularisasi
agama yang berdasarkan pada paham relativisme.
Analisis Gender
Dalam banyak
persoalan yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, baik
menyangkut ibadah maupun sosial, dimana berlangsung pertemuan antara
perempuan dengan laki-laki baik secara bersama-sama,
berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang
perhatian laki-laki, para ulama ahli fiqih selalu mengaitkannya
dengan alasan khauf
al fitnah, yakni
menjaga jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menggangu
atau menggoda hati dan pikiran laki-laki. Dengan alasan ini pula maka
dalam banyak masalah, seperti urutan shaf
dalam
sholat jamaah, posisi perempuan dengan laki-laki haruslah terpisah
dan perempuan di belakang kaum laki-laki, perempuan tidak diwajibkan
sholat jum’at, perempuan dilarang menyampaikan khotbah, atau
mengumandangkan adzan dengan suara yang dapat di dengar oleh
laki-laki, dan sebagainya. Bahkan perempuan keluar rumah untuk
mengikuti sholat berjamaah di masjid dianggap kurang baik. Untuk
masalah yang disebut terakhir ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa
makruh
bagi
perempuan menghadiri sholat berjamaah (bersama laki-laki) karena di
khawatirkan terjadi fitnah. Mazhab Syafii dan Hanbali juga sepakat
dengan pendapat ini.6
Jadi, jelas bahwa alasan paling substansial dari larangan itu tidak
lain adalah karena adanya faktor kekhawatiran akan menimbulkan fitnah
tadi.
Pada sisi yang
lain, argumen-argumen yang dikemukakan oleh ulama fiqh diatas
sebenarnya juga memperlihatkan adanya bias laki-laki dan bias gender.
Fitnah yang berarti gangguan atau godaan itu seakan-akan hanya
terjadi pada pihak perempuan terhadap laki-laki. Atau setidaknya
dapat dikatan bahwa pada diri seorang perempuan seakan-akan diduga
ada unsur-unsur inheren yang membuat laki-laki tergoda. Maka, untuk
menghindarkan laki-laki dari godaan, menurut kacamata ini perempuan
sebaiknya tidak atau bahkan dilarang melakukan aktivitas bersama-sama
laki-laki apalagi dalam hal ibadah sholat, dimana didalamnya
diperlukan konsentrasi penuh (kekhusyukan).
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sesungguhnya
hampir semua Ulama’ muslim dan para fuqaha’ madzhab yang diikuti
oleh seluruh umat islam telah sepakat bahwa haram hukumnya seorang
wanita menjadi imam sholat laki-laki dan tidak sah sholatnya.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam
Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim.
Memerdekakan wanita
pastinya tidak hanya dengan menjadikannya imam dalam sholat saja. Al
qur’an sendiri tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan
mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakan hanyalah
tingkat ketakwaan mereka. Namun diantara keduanya ada batasan-batasan
yang tidak semua wanita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan
oleh laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Keadilan itu tidak
haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama
wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan
potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu
tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
- Saran dan Rekomendasi
Demikian makalah
yang dapat penulis sampaikan. penulis menyadari bahwa sebagai manusia
biasa tidaklah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Begitu juga
dengan makalah yang penulis buat jauh dari kesempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang kontruktif senantiasa diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan yang akan datang. Semoga makalah ini
dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidah,
Tutik. Fiqh
Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. 2011.
Malang: UIN Maliki Press.
Ilyas,
Hamim. Perempuan
Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. 2003.
Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga.
Ibrahim,
Su’ad. Fiqh
Ibadah Wanita. 2011.
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Muhammad,
Husain. Fiqh
Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. 2007.
Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Gunarsa,
Abu Khalid Resa. Kesetaraan
Gender Dalam Sorotan.
http://muslim.or.id/muslimah/kesetaraan-gender-dalam-sorotan.html.
diunduh pada tanggal 4 november 2013. Pukul 21.00 WIB.
http://muslimdaily.net/opini/specialfeature/komunitas-liberal-penerus-aminah-wadud-dari-inggris-wanita-menjadi-imam-salat-jamaah.html.
di unduh pada hari selasa, 5 november 2013. Pukul 08.00 WIB.
1
http://muslimdaily.net/opini/specialfeature/komunitas-liberal-penerus-aminah-wadud-dari-inggris-wanita-menjadi-imam-salat-jamaah.html#.UnhcB1NlKtA.
Diambil pada hari selasa, 5 november. Pukul 08.00 WIB.
2
http://muslim.or.id/muslimah/kesetaraan-gender-dalam-sorotan.html.
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc. (Alumni
Universitas Al Azhar Mesir, Da’i di Islamic Center Bathah Riyadh
KSA)
Artikel Muslim.Or.Id. Dari artikel 'Kesetaraan Gender dalam Sorotan — Muslim.Or.Id'. di ambil pada tanggal 4 november 2013. Pukul 21.00 WIB.
Artikel Muslim.Or.Id. Dari artikel 'Kesetaraan Gender dalam Sorotan — Muslim.Or.Id'. di ambil pada tanggal 4 november 2013. Pukul 21.00 WIB.
3
Hamim Ilyas. Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. 2003. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. Hal:241
Hamim Ilyas. Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. 2003. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. Hal:241
4
Husain Muhammad. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. 2007. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Hal 35.
Husain Muhammad. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. 2007. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Hal 35.
5
Su’ad Ibrahim Sholeh diterjemahkan oleh Nadirsah Hawari .Ahkam Ibadat Al Mar’ah fi Asy Syariah Al Islamiyyah ( Fiqh Ibadah Wanita ). 2011. Jakarta :Sinar Grafika Offset. Hal: 328-329.
Su’ad Ibrahim Sholeh diterjemahkan oleh Nadirsah Hawari .Ahkam Ibadat Al Mar’ah fi Asy Syariah Al Islamiyyah ( Fiqh Ibadah Wanita ). 2011. Jakarta :Sinar Grafika Offset. Hal: 328-329.
6
Tutik Hamidah. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. 2011. Malang: UIN Maliki Press. Hal: 70
Tutik Hamidah. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. 2011. Malang: UIN Maliki Press. Hal: 70
faham maksudnya,
BalasHapusJakarta || Banten ||Lombok