Selasa, 17 Desember 2013

PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHOLAT

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masyarakat islam dunia dikagetkan dengan adanya seorang wanita bernama Amina Wadud, profesor tamu di jurusan studi islam, Virginia Commonwealth University AS telah mengimani sholat jum’at dan berkhotbah di New York sekitar tahun 2005 yang lalu. Sholat jum’at ini berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS yang shafnya pun campur dengan laki-laki dan perempuan.
Tak hanya itu, pada tahun 2008, Amina Wadud mengulang aksinya di London. Ia kembali menjadi imam dan khotib di Oxford Centre, Oxford. Wadud menjadi imam sholat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford dengan makmum laki-laki dan perempuan campur.1
Isu feminisme memang sedang hangat dibicarakan dan digembor-gemborkan oleh pengiatnya. Jika maksud dari feminisme adalah memerdekakan kaum perempuan dari segala bentuk kezaliman, tentu itu tindakan yang baik. Dan itulah misi islam sejak muncul berpuluh abad yang lalu. Tapi, nyatannya feminisme telah diarahkan untuk menghancurkan sendi-sendi islam dan menggugatnya karena beranggapan bahwa tidak ada ketidakadilan dalam islam kepada perempuan.
Menariknya tak sedikit para pengiat feminisme mencari legitimasi hadits-hadits Nabi atau pendapat para Ulama klasik untuk membenarkan apa yang mereka perjuangkan. Dalam makalah ini kita akan coba membahas, boleh tidaknya seorang perempuan menjadi imam sholat laki-laki, serta bagaimana relasi laki-laki dan perempuan dalam bidang ibadah, lalu bagaimana dengan kesetaraan dan keadilan gender dalam hal ini.

 
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana relasi laki-laki dan perempuan dalam bidang ibadah?
  2. Bagaimana kepemimpinan perempuan dalam sholat?
  3. Bagaimana kesetaraan gender dalam kepemimpinan perempuan sebagai imam sholat?


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Ibadah.
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang. Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya.
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan perempuan menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi perempuan dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang Maha Adil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.”
Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel bertajuk “Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah” menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler.
Allah berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang keadilan antara laki-laki dan perempuan, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.2
Hukum Syariat antara Laki-laki dan Wanita
Di antara ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal kepemimpinan. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa` [4]: 34)
Posisi strategis ini Allah berikan kepada laki-laki karena ia sesuai dengan tabiat dan kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam rumah tangga, laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab menjaga dan memelihara urusan orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya dari para istri dan anak-anak, termasuk menjamin pakaian, makanan dan rumah mereka.
Bahkan, tidak hanya urusan-urusan dunia mereka, namun juga dalam urusan agama mereka. Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah pemimpin/penanggungjawab bagi perempuan, dalam hal agamanya, sebelum dalam hal pakaian dan makanannya.” (Khuthbah Jum’at, Masjid Amir Mut’ib)
Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang laki-laki atas perempuan itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam arti kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan.
Begitu pula dalam kepemimpinan pada ranah-ranah publik seperti jabatan kepala negara, kehakiman, menejerial, atau perwalian seperti wali nikah dan yang lainnya, semua itu juga hanya diberikan kepada laki-laki dan tidak kepada perempuan.
Dalam ibadah dan ketaatan, laki-laki secara khusus dibebani kewajiban jihad, shalat jum’at dan berjamah di masjid, disyariatkan bagi mereka adzan dan iqamah. Syariat juga menetapkan perceraian berada di tangan laki-laki, dan bagian waris dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
  1. Kepemimpinan Perempuan dalam Sholat.
Kepemimpinan dalam islam sering disebut dengan imamah. Dalam kajian para ulama imamah dibagi dalam dua kategori, yaitu imamah kubro dan imamah sugra. Imamah dalam arti ini pertama merupakan kepemimpinan secara umum, kepemimpinan seseorang dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam hal ini masuk istilah khilafah . sedangkan pengertian imamah yang kedua , imamah khusus yang berkenaan dengan kepemimpinan dalam sholat. 3
Ketika kita membicarakan soal kepemimpinan dalam sholat maka kita menjumpai bahwa seluruh kitab fiqih, baik klasik maupun modern, selalu menyebutkan sejumlah syarat. Beberapa persyaratan itu, diantaranya, yaitu: Islam, Berakal, Baligh, Laki-laki. Para ulama fiqih dan mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpin sholat lak-laki, ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam sholat, termasuk bagi jamah kaumnya sendiri, baik untuk sholat fardhu (wajib) maupun sholat sunnah. 4
Ulama Hanafiyah berpendapat,”Perempuan tidak boleh mengimani kaum laki-laki sama sekali dan sholatnya dianggap tidak sah dan tidak boleh diikuti, namun ia boleh menjadi imam bagi Perempuan lain karena kedudukan mereka sama. Akan tetapi, sholat wanita secara sendiri lebih utama karena jamaah mereka dihapuskan.
Perempuan boleh beriman kepada laki-laki jika si laki-laki berniat menjadi imam si perempuan. Diriwayatkan oleh Al Hasan dari Abu Hanifah, jika perempuan berdiri di belakang imam, maka ia boleh menjadi makmum walaupun si imam tidak memasang niat sebagai imam. Akan tetapi jika ia berdiri di samping imam, sholatnya menjadi batal dan sholat si imam menjadi sah. Dan jika si laki-laki berniat menjadi makmum bagi si perempuan maka sholatnya batal. Ini pendapat Abu Hanifah yang pertama, alasannya, jika ia sudah berdiri di belakang imam, maksudnya ia ingin mengerjakan sholat dan tidak untuk merusak sholat sang imam sehingga tidak harus ada imam dan makmum sejak awal. Namun, jika ia berdiri di samping imam, berarti ia berniat merusakkan sholat imam sehingga harus ditolak dengan membatalkan sholatnya, kecuali jika si imam juga batal sebagai akibat dari hal mudarat ini.
Perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan lain, dan ia hendaknya berdiri di tengah-tengah mereka sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia pernah menjadi imam kaum perempuan untuk sholat ashar dan ia berdiri di tengah-tengah. Ummu Salamah juga pernah menjadi imam kaum perempuan dan berdiri di tengah-tengah, karena seharusnya mereka menutup diri, dan cara ini sangat tepat meskipun sholat jamaah mereka makruh menurut kami”.5

  1. kesetaraan gender dalam kepemimpinan perempuan sebagai imam sholat
Kesetaraan yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya, kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial.  Mungkinkah olah raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis memang berbeda. Ini harus diakui.
Padahal keadilan itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
Di sisi Allah pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah dan senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada pembedaan sama sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada perempuan bersedekah.  Amal sholeh dan keimanan dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS Ali-Imran: 195).
Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.
Efek negatif yang bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah ideologi relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur hubungan antarmanusia. Akibatnya,  mereka menghalalkan praktik homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan orientasi seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh syariah sekalipun. Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis seorang perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual.
Adapun isu kesetaraan gender selama ini lahir karena pemberontakan wanita Barat terhadap doktrin gereja. Isu kesetaraan gender membuat perempuat Barat mengingkari kodrat mereka seperti perempuan. Dimana hal itu tidak pernah dialami dalam tradisi Islam. Sehingga sepatutnya pengalaman itu tidak dipraktikkan dalam hukum Islam.  Apalagi paham feminism merupakan bagian dari liberalisasi dan sekularisasi agama yang berdasarkan pada paham relativisme.
Analisis Gender
Dalam banyak persoalan yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, baik menyangkut ibadah maupun sosial, dimana berlangsung pertemuan antara perempuan dengan laki-laki baik secara bersama-sama, berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian laki-laki, para ulama ahli fiqih selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al fitnah, yakni menjaga jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menggangu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki. Dengan alasan ini pula maka dalam banyak masalah, seperti urutan shaf dalam sholat jamaah, posisi perempuan dengan laki-laki haruslah terpisah dan perempuan di belakang kaum laki-laki, perempuan tidak diwajibkan sholat jum’at, perempuan dilarang menyampaikan khotbah, atau mengumandangkan adzan dengan suara yang dapat di dengar oleh laki-laki, dan sebagainya. Bahkan perempuan keluar rumah untuk mengikuti sholat berjamaah di masjid dianggap kurang baik. Untuk masalah yang disebut terakhir ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa makruh bagi perempuan menghadiri sholat berjamaah (bersama laki-laki) karena di khawatirkan terjadi fitnah. Mazhab Syafii dan Hanbali juga sepakat dengan pendapat ini.6 Jadi, jelas bahwa alasan paling substansial dari larangan itu tidak lain adalah karena adanya faktor kekhawatiran akan menimbulkan fitnah tadi.
Pada sisi yang lain, argumen-argumen yang dikemukakan oleh ulama fiqh diatas sebenarnya juga memperlihatkan adanya bias laki-laki dan bias gender. Fitnah yang berarti gangguan atau godaan itu seakan-akan hanya terjadi pada pihak perempuan terhadap laki-laki. Atau setidaknya dapat dikatan bahwa pada diri seorang perempuan seakan-akan diduga ada unsur-unsur inheren yang membuat laki-laki tergoda. Maka, untuk menghindarkan laki-laki dari godaan, menurut kacamata ini perempuan sebaiknya tidak atau bahkan dilarang melakukan aktivitas bersama-sama laki-laki apalagi dalam hal ibadah sholat, dimana didalamnya diperlukan konsentrasi penuh (kekhusyukan).
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sesungguhnya hampir semua Ulama’ muslim dan para fuqaha’ madzhab yang diikuti oleh seluruh umat islam telah sepakat bahwa haram hukumnya seorang wanita menjadi imam sholat laki-laki dan tidak sah sholatnya. Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim.
Memerdekakan wanita pastinya tidak hanya dengan menjadikannya imam dalam sholat saja. Al qur’an sendiri tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan mereka. Namun diantara keduanya ada batasan-batasan yang tidak semua wanita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Keadilan itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.
  1. Saran dan Rekomendasi
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan. penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidaklah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Begitu juga dengan makalah yang penulis buat jauh dari kesempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang kontruktif senantiasa diharapkan demi kesempurnaan makalah ini dan yang akan datang. Semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita. Amin.





DAFTAR PUSTAKA


Hamidah, Tutik. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. 2011. Malang: UIN Maliki Press.

Ilyas, Hamim. Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. 2003. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga.

Ibrahim, Su’ad. Fiqh Ibadah Wanita. 2011. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Muhammad, Husain. Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. 2007. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.

Gunarsa, Abu Khalid Resa. Kesetaraan Gender Dalam Sorotan. http://muslim.or.id/muslimah/kesetaraan-gender-dalam-sorotan.html. diunduh pada tanggal 4 november 2013. Pukul 21.00 WIB.

2 http://muslim.or.id/muslimah/kesetaraan-gender-dalam-sorotan.html. Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc. (Alumni Universitas Al Azhar Mesir, Da’i di Islamic Center Bathah Riyadh KSA)
Artikel Muslim.Or.Id. Dari artikel 'Kesetaraan Gender dalam Sorotan — Muslim.Or.Id'. di ambil pada tanggal 4 november 2013. Pukul 21.00 WIB.


3
Hamim Ilyas. Perempuan Tertindas, Kajian Hadis-Hadis Misoginis. 2003. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. Hal:241

4
Husain Muhammad. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. 2007. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Hal 35.

5
Su’ad Ibrahim Sholeh diterjemahkan oleh Nadirsah Hawari .Ahkam Ibadat Al Mar’ah fi Asy Syariah Al Islamiyyah ( Fiqh Ibadah Wanita ). 2011. Jakarta :Sinar Grafika Offset. Hal: 328-329.

6
Tutik Hamidah. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. 2011. Malang: UIN Maliki Press. Hal: 70

1 komentar: